BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang
Hakim
dalam memeriksa setiap
perkara harus sampai
kepada putusannya,
walaupun kebenaran peristiwa yang dicari itu belum tentu ditemukan. Benar
tidaknya
sesuatu
peristiwa yang disengketakan
sangat bergantung kepada hasil pembuktian
yang dilakukan para pihak di persidangan. Oleh karena itu kebenaran
yang dicari di
dalam hukum acara perdata sifatnya relatif.
Hukum pembuktian dalam perkara perdata merupakan sebagian
dari hukum acara perdata. Hukum pembuktian hanya berlaku dalam perkara yang
mengadili suatu sengketa dengan jalan memeriksa para pihak dalam sengketa
tersebut.
Pokok
bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hukum
dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum perdata atau hukum
acara perdata.
Prof.
Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas
Indonesia berpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat
diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak
pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal
yang termasuk hukum materil.
Akan
tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam
hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat
pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang
dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata
materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu
B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan
dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.
Hukum
positif tentang pembuktian (pokok bahasan
makalah ini) yang berlaku saat ini di RI terserak dalam HIR dan Rbg baik yang
materiil maupun yang formil. Serta dalam BW buku IV yang isinya hanya hukum
pembuktian materiil.
- Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang dimaksud
dengan pembuktian?
2.
Bagaimana prinsip-prinsip
pembuktian?
3.
Bagaimana teori-teori
tentang beban pembuktian?
4.
Apa sajakah yang termasuk
dengan alat-alat bukti?
C. Tujuan Penulisan
1. Apakah yang dimaksud
dengan pembuktian?
2.
Bagaimana prinsip-prinsip
pembuktian?
3.
Bagaimana teori-teori
tentang beban pembuktian?
4.
Apa sajakah yang termasuk
dengan alat-alat bukti?
A.
Pengertian Pembuktian
Menurut
prof. R. Subekti, SH., yang dimaksud dengan “membuktikan” ialah upaya
menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan
dalam suatu persengketaan atau perkara dimuka hakim atau pengadilan.
Sedangkan
“membuktikan” menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM
mengandung beberapa pengertian:
a.
Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan
berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak
memungkinkan adanya bukti lawan.
b.
Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan
berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai
tingkatan-tingkatan:
- kepastian yang
didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
- kepastian yang
didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
c.
Membuktikan dalam hukum
acara mempunyai arti yuridis
Didalam
ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang
berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil
yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya
berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka.
Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju
kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau
surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini
dimungkinkan adanya bukti lawan.
Pembuktian
secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis”
yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto.
Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka
membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa
peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktikan dalam arti yuridis tidak
lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa
perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa
yang diajukan.
B.
Prinsip-Prinsip Pembuktian
Dalam
suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah
suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak.
Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan
kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan
dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak,
sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.
Tidak
semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk
dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan,
maka tidak perlu dibuktikan lagi.
Beberapa hal/keadaan yang
tidak harus dibuktikan antara lain :
a)
hal-hal/keadaan-keadaan
yang telah diakui
b)
hal-hal/keadaan-keadaan
yang tidak disangkal
c)
hal-hal/keadaan-keadaan
yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau
hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim. Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua
kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di
desa.
Dalam
soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan
dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara
pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak
penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa
hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban
pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif
dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan
yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.
Sebagai
pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa:
" Barang
siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak,
diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa
mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga
membuktikan peristiwa-peristiwa itu"
C.
Teori-Teori Tentang Beban
Pembuktian
Pembuktian
dilakukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada
para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Dalam ilmu pengetahuan terdapat
beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara
lain:
1.
Teori pembuktian yang bersifat menguatkan
belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus
membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini
telah ditinggalkan.
2.
Teori hukum subyektif
Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan
pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan
siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya.
3.
Teori hukum obyektif
Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti
bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan
hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus
membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari
hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.
4.
Teori hukum publik
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam
peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi
wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada
kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam
alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
5.
Teori hukum acara
Asas audi et alteram partem atau juga asas
kedudukkan prosesuil yang sama daripada para pihak akan membawa akibat menang
atau kalah yang sama. Menurut teori ini,
hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan
para pihak, sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
D.
Alat-Alat Bukti
Berdasarkan ketentuan Pasal 164 HIR, Pasal 284 Rbg dan Pasal
1866 KUH perdata maka di Indonesia dikenal 5 (lima) macam alat-alat bukti
utama, dalam perkara perdata yaitu :
1.
Alat bukti surat
2.
Kesaksian
3.
persangkaan
4.
Pengakuan
5.
Sumpah
Berikut ini akan kami uraikan secara ringkas tentang alat-alat
bukti tersebut;
Menurut
undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat
lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan
sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditandatangani.
Surat-surat
akte dapat dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte
di bawah tangan (onderhands).Suatu akte resmi (authentiek) ialah
suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut
undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum
yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai
Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.
Menurut
undang-undang suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan
pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak
mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang
dituliskan didalam akte itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim
tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu
akte di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak
dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian
jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh
kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang
menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal
tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa
yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan tersebut
memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi.
Akan
tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat
perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau
isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku
terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu
akte resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata
lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte tersebut telah melakukan
pemalsuan surat.
Berbagai
tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akte seperti surat, faktur,
catatan yang dibuat oleh suatu pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya
diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk mempercayai atau
tidak mempercayai kebenarannya.
Sesudah
pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian
yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim. Suatu
kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata
sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh
saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain. Selanjutnya
tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang
ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang
berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.
Kesaksian
bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah
pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk
mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi. Seorang saksi yang
sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak
oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari
kewajibannya untuk memberikan kesaksian. Selanjutnya, undang-undang menetapkan
bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh
mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu
saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat
pembuktian lain.
Persangkan
ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang
dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan
bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi. Dalam
pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh
undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang
ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).
Persangkaan
yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada
hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal
untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga
kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan
suatu persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah
dibayar olehnya.
Persangkaan
yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada
pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata
kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu perkara
dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini
tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya
sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si
istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam
kamar tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan
saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu
sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya
hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.
Sebenarnya
pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu
hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak
dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab
pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.
Menurut
undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian
yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini
berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang
telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri
tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi.
Adakalanya,
seorang tergugat dalam suatu perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang
diajukan oleh penggugat, tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa
lain yang menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian
jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah
ia terima dari penggugat. Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim
tidak boleh dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam
proses yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan yang
disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu
pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual
barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan terjadinya
penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli.
Perlu
diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan sebagai alat
pembuktian dalam suatu proses, yaitu dalam suatu perkara yang diajukan oleh
seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan pemisahan kekayaan.
Menurut
UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire
eed) dan “tambahan” (supletoir eed). Sumpah yang “menentukan” (decissoire
eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang
berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang
sedang diperiksa oleh hakim.Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang
perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah
itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak
pengangkatan sumpah itu, ia akandikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat
sumpah, mempunyai hak untuk “mengembalikan” perintah itu, artinya meminta
kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan
sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika
rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah
menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi “Saya
bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah
dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu,
akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia
akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu.
Jika
suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang
menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan
perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang
disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan
yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu
peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus
dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan
itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri,
sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh “menentukan” jalannya
perkara.
Suatu sumpah
tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah
satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu
perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan
penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas
dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan
memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah
merupakan permulaan pembuktian.
Pihak
yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat
mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak dapat “mengembalikan” sumpah
tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, terhadap sumpah tambahan ini pun dapat
dikatakan, bahwa ia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan
sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir ialah, bahwa yang
belakangan diperintahkan oleh suatu pihak yang beperkara kepada pihak lawannya,
sedangkan sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas
kehendak hakim itu sendiri.