28 Mei 2012

POKOK-POKOK HUKUM ACARA PIDANA (HUKUM PIDANA FORMIL)


POKOK-POKOK
HUKUM ACARA PIDANA
(HUKUM PIDANA FORMIL)


Secara umum, Hukum Acara Pidana diatur dalam UU RI No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Hukum Acara Pidana adalah:
1.   Keseluruhan aturan hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan Hukum Pidana Materiil
2.   Keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana Negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau membebaskan pidana
3.   dll.

Dalam Hukum Acara Perdata, hakim bersifat “pasif”, sedang dalam Acara Pidana hakim bersifat “aktif”. Karena, pada Acara Perdata, inisiatif beracara datang dari para pihak, sedangkan pada Acara Pidana inisiatif beracara datang dari pihak Penguasa.

Tetapi, dalam beberapa tindak kejahatan, pihak Penguasa baru bertindak sesudah ada pengaduan dari yang bersangkutan, yaitu:
1.   Kejahatan yang melanggar kesusilaan (Pasal 284, 287 KUHP, dll)
2.   Kejahatan berupa penghinaan ringan (Pasal 319 KUHP)
3.   Kejahatan pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP)

Tahap-tahap Acara Pidana

Perbandingan antara HIR (Herzien Inlands Reglement) & KUHAP
Menurut HIR
1.   Pemeriksaan pendahuluan/ permulaan (Polisi & Jaksa)
2.   Pemeriksaan dalam sidang pengadilan/ terakhir (Hakim & Jaksa)
3.   Pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi)

Menurut KUHAP
1.   Penyelidikan (Polisi)
2.   Penuntutan (Jaksa)
3.   Pemeriksaan di pengadilan (Hakim)
4.   Pelaksanaan putusan/ eksekusi (Jaksa, diawasi oleh Ketua Pengadilan)

TAHAP-TAHAP ACARA PIDANA
1.      PENYIDIKAN (Pasal 1 (2) KUHAP) dan PENYELIDIKAN (Pasal 1 (5) KUHAP)
Dalam PENYIDIKAN dan PENYELIDIKAN, terdapat kegiatan:
a.   PENANGKAPAN (Pasal 1 (20) KUHAP)
b.   PENAHANAN (Pasal 1 (21) KUHAP)
c.    PENGGELEDAHAN (Pasal 1 (17) (18) KUHAP) 
d.   PENYITAAN (Pasal 1 (16) KUHAP)
e.   PEMERIKSAAN SURAT-SURAT

Pada tahap ini, orang yang disangka melakukan perbuatan pidana, disebut TERSANGKA (Pasal 1 (14) KUHAP)

2.      PENUNTUTAN
a.   Perkara pidana disampaikan kepada Hakim yang berwenang supaya diperiksa dalam sidang pengadilan. Pada tahap ini (menurut Doktrin)  TERSANGKA menjadi “TERTUDUH”
b.   Hakim mempertimbangkan, apakah cukup alasan memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan.

3.      PEMERIKSAAN DI PENGADILAN  
a.   Hakim mulai memeriksa perkara setelah Jaksa (Penuntut Umum) membacakan tuduhannya. Pada tahap ini “TERTUDUH” menjadi TERDAKWA (Pasal 1 (15) KUHAP).
b.   Setelah pemeriksaan, Jaksa mengucapkan Requisitoir, yaitu kesimpulan dari segala pemeriksaan dalam sidang pengadilan beserta tuntutan hukumannya.
c.    Terdakwa dan Pembela dapat memberikan jawaban atas Requisitoir Jaksa.
d.   Kemudian, Pengadilan (Hakim) bermusyawarah, menetapkan putusannya (oleh Hakim Ketua). Keputusan didasarkan atas hasil pemeriksaan dalam sidang.

Keputusan Hakim dapat berupa:
a.   dijatuhkannya hukuman (vonis) (Pasal 193 KUHAP)
b.   bebas dari tuduhan (vrijspraak) (Pasal 191 (1) KUHAP)
c.    lepas dari tuntutan (ontslag van rechtsvervolging) (Pasal 191 (2) KUHAP)

Jika dijatuhi hukuman, TERDAKWA menjadi TERPIDANA (Pasal 1 (32) KUHAP)

4.      EKSEKUSI
Yang diserahi tugas menjalankan putusan Hakim adalah Jaksa.

Acara Pidana, pada Tahap I dan Tahap II bersifat  INQUISITOR, sedangkan  pada tahap III lebih bersifat ACCUSATOIR.
INQUISITOR, berarti bahwa terdakwa berkedudukan sebagai “obyek pemeriksaan” hakim, jadi merupakan pihak, sehingga tidak mempunyai hak apa-apa.
ACCUSATOIR, artinya terdakwa berkedudukan sebagai pihak yang didakwa oleh pendakwa (Jaksa) di muka hakim. Sehingga terdakwa sejajar dengan Jaksa Penuntut Umum.

JENIS-JENIS ACARA PIDANA
1.      Acara Pemeriksaan Singkat (Pasal 203 KUHAP), yang memeriksa :
a.    Kejahatan/ pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205.
b.    Menurut JPU, pembuktian serta penerapan hukumnya mudah.
c.    Sifatnya sederhana.
2.      Acara Pemeriksaan Cepat (Pasal 205 KUHAP), yang memeriksa :
a.   Tindak Pidana Ringan (TIPIRING), perkara yang diancam :
1)   Pidana penjara/ kurungan maksimal 3 bulan dan atau
2)   Denda maksimal Rp 7.500,‑
3)   Penghinaan ringan
b.   Pelanggaran Lalin (UU No. 22 Tahun 2009)
3.      Acara Pemeriksaan Biasa/ Lengkap
a.   Terdakwa masuk atas perintah Hakim Ketua
1)   Hakim menegaskan identitas
2)   Hakim memberi peringatan
b.   Hakim memerintahkan JPU membaca dakwaan
c.    Terdakwa/ pembela mengajukan eksepsi (keberatan), tentang :
1)  Pengadilan tidak berwenang, karena alasan perkara yang menyangkut perkara perdata.
2)  Dakwaan ditolak, karena :
a)    Merupakan perkara aduan yang tidak dipenuhi surat aduan dari yang berkepentingan.
b)    Ne bis in idem (Pasal 76 KUHP) “seseorang tidak dapat dituntut dua kali karena perbuatan yang telah diadili dan mendapat putusan tetap”.
c)    Surat dakwaan batal, karena alasan ketidaktepatan/ samar-samar (obscur libelly) mengenai locus delicti dan tempus delicti.
d.   Pemeriksaan saksi yang terdapat dalam Surat Pelimpah Perkara, dan saksi yang diminta oleh Terdakwa, Penasehat Hukum, JPU, selama persidangan dan sebelum putusan.
e.   Pembacaan Tuntutan JPU/ REQUISITOIR
f.     Pembelaan (PLEIDOI)  oleh Penasehat Hukum/ Terdakwa
g.   Replik oleh JPU
h.    Duplik oleh Penasehat Hukum/ Terdakwa
i.     Sidang ditutup untuk musyawarah hakim. Acara pemeriksaan dapat dibuka lagi atas permintaan Hakim Ketua, JPU, Terdakwa dan Pembela, sebelum vonis.
j.     Rereplik
k.    Reduplik

26 Mei 2012

Pembuktian


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang
Hakim  dalam  memeriksa  setiap  perkara  harus  sampai  kepada  putusannya,
walaupun kebenaran peristiwa  yang dicari itu belum tentu ditemukan. Benar tidaknya
sesuatu  peristiwa yang disengketakan  sangat  bergantung kepada  hasil pembuktian
yang dilakukan para pihak  di persidangan. Oleh karena itu kebenaran yang dicari  di
dalam hukum acara perdata sifatnya relatif.
Hukum pembuktian dalam perkara perdata merupakan sebagian dari hukum acara perdata. Hukum pembuktian hanya berlaku dalam perkara yang mengadili suatu sengketa dengan jalan memeriksa para pihak dalam sengketa tersebut.
Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum perdata atau hukum acara perdata.
Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil.
Akan tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.
Hukum positif tentang pembuktian (pokok bahasan makalah ini) yang berlaku saat ini di RI terserak dalam HIR dan Rbg baik yang materiil maupun yang formil. Serta dalam BW buku IV yang isinya hanya hukum pembuktian materiil. 

  1. Rumusan Masalah
1.            Apakah yang dimaksud dengan pembuktian?
2.            Bagaimana prinsip-prinsip pembuktian?
3.            Bagaimana teori-teori tentang beban pembuktian?
4.            Apa sajakah yang termasuk dengan alat-alat bukti?
C. Tujuan Penulisan
1.   Apakah yang dimaksud dengan pembuktian?
2.      Bagaimana prinsip-prinsip pembuktian?
3.      Bagaimana teori-teori tentang beban pembuktian?
4.      Apa sajakah yang termasuk dengan alat-alat bukti?

A.    Pengertian Pembuktian

Menurut prof. R. Subekti, SH., yang dimaksud dengan “membuktikan” ialah upaya menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan atau perkara dimuka hakim atau pengadilan.
Sedangkan “membuktikan” menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian:
a.        Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
b.       Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
- kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
- kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
c.       Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.  Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.
Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
B.     Prinsip-Prinsip Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.
Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :
a)      hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
b)      hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
c)      hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim. Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.
Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa:
Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu"
C.     Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian
Pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara lain:
1.       Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.
2.       Teori hukum subyektif
Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya.
3.       Teori hukum obyektif
Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.
4.       Teori hukum publik
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
5.       Teori hukum acara
Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama daripada para pihak akan membawa akibat menang atau kalah yang sama. Menurut teori ini,  hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
D.    Alat-Alat Bukti
Berdasarkan ketentuan Pasal 164 HIR, Pasal 284 Rbg dan Pasal 1866 KUH perdata maka di Indonesia dikenal 5 (lima) macam alat-alat bukti utama, dalam perkara perdata yaitu :
1.      Alat bukti surat
2.      Kesaksian
3.      persangkaan
4.      Pengakuan
5.      Sumpah
Berikut ini akan kami uraikan secara ringkas tentang alat-alat bukti tersebut;
1)      Alat Bukti Surat
Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditandatangani.
Surat-surat akte dapat dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands).Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.
Menurut undang-undang suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akte itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu akte di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi.
Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte tersebut telah melakukan pemalsuan surat.
Berbagai tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akte seperti surat, faktur, catatan yang dibuat oleh suatu pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya.
2)      Kesaksian

Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim. Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain. Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.
Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi. Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian. Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.
3)      Persangkaan
Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi. Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).
Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.
Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.
4)      Pengakuan
Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.
Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi.
Adakalanya, seorang tergugat dalam suatu perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh penggugat, tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia terima dari penggugat. Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli.
Perlu diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan sebagai alat pembuktian dalam suatu proses, yaitu dalam suatu perkara yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan pemisahan kekayaan.
5)      Sumpah
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed). Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim.Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akandikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk “mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu.
Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh “menentukan” jalannya perkara.
Suatu sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.
Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak dapat “mengembalikan” sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, terhadap sumpah tambahan ini pun dapat dikatakan, bahwa ia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh suatu pihak yang beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas kehendak hakim itu sendiri.